Oleh: Ni Putu Sri Indrani Remitha (SMA Negeri 2 Amlapura, Bali)
“Punyailah keyakinan bahwa kalian semuanya dilahirkan untuk berbuat hal-hal yang besar. Hai anak-anak muda janganlah karena mendengar suara anak-anak anjing menyalak kalian menjadi takut, tidak, tidak boleh menjadi penakut sekalipun mendengar dentuman guntur di atas langit, tetaplah berdiri tegak dan berusaha terus. Negaramu meminta pahlawan-pahlawan sejati. Jadilah pahlawan-pahlawan nan gagah perkasa. Berdiri teguh laksana batu karang yang kokoh. Kebenaran selalu menang”. (Wejangan Swami Wiwekananda)
Sepenggal nasihat tersebut pernah disampaikan oleh tokoh Hindu, Swami Wiwekananda, yang menyiratkan makna bahwa kita sebagai generasi muda penerus tongkat estafet bangsa ini harus memiliki jiwa pemberani, pantang menyerah, dan berlandaskan atas dharma (kebenaran) yang akan mengarahkan kita menuju kemenangan sejati dan abadi. Dalam kehidupan sosial masyarakat, istilah generasi muda sering diasumsikan dengan sekumpulan remaja yang akan menentukan nasib bangsa ini di hari esok.
Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa (Dianawati, 2003 : 110). Pada tahapan sebagai remaja, mereka tidak jarang mengalami perubahan fisik disertai dengan perubahan psikologi yang menyolok. Dari segi psikologi, remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar sehingga jiwa remaja ingin selalu mencoba hal-hal yang dianggap baru untuk mencari identitas diri yang sebenarnya. Selain itu, remaja akan memiliki emosional yang labil sehingga sering bertindak berdasarkan ego mereka sendiri.
Sambalado dan ISIS di Era Globalisasi
Gempuran arus globalisasi yang mahadahsyat telah menawarkan banyak kemudahan bagi kehidupan kita. Kemudahan dalam bidang informasi dan teknologi (IT) merupakan salah satunya. Namun, remaja yang tidak mampu membentengi jati diri mereka agar tidak terjerumus ke dalam gelombang negatif IT, tentunya dapat melahirkan generasi muda dengan kepribadian yang tidak kokoh. Pola pikir yang cenderung instan dan hanya mementingkan hasil bukan proses merupakan karakteristik dari generasi muda atau pun remaja dewasa ini. Faktanya, banyak terjadi kasus di kalangan remaja yang menyalahgunakan facebook atau twitter untuk mencemooh lambang negara, bahkan di dunia entertainment pernah terjadi kasus, yaitu seorang artis, Zaskia Gotik, tidak mengetahui hari kemerdekaan Indonesia dan melecehkan Pancasila. Bagaimana mungkin seorang seniman (artis) populer yang seyogianya menjadi teladan justru bertindak mengejikan?
Fenomena yang terkait dengan benalu atau efek negatif globalisasi tentunya dapat melahirkan ‘generasi Sambalado’ yang kepribadian dan nasionalismenya seperti sambal (hanya sedap di lidah dan rasanya akan hilang setelah dimakan). Artinya, generasi Sambalado sangat mudah tergerus akan arus globalisasi yang dapat mengantarkan mereka pada popularitas. Namun, jiwa kebangsaan mereka yang mudah terombang-ambing akan membuat generasi Sambalado menjadi hancur, kehilangan jati dirinya, dan mudah terpengaruh untuk melakukan hal negatif. Adanya generasi Sambalado menunjukkan bobroknya karakter remaja di zaman modern seperti sekarang ini sehingga tidak jarang dari mereka yang mudah terjerumus ke dalam perilaku penyimpangan sosial.
Salah satu penyimpangan dari generasi Sambalado yang kini sangat menghebohkan masyarakat adalah penyimpangan di bidang terorisme, yaitu maraknya ISIS. ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan menaklukkan dan menyatukan wilayah Suriah, Irak, Mesir, Lebanon, Jordania, dan Israel menjadi negara kesatuan di bawah bendera khilafah, sebuah kerajaan yang menerapkan hukum Islam secara penuh dalam menjalankan pemerintahan Negara (Masyhar, 2009 : 67). Ditinjau dari segi mekanismenya, pergerakan Islam fundamental tersebut mengambil orang-orang yang memiliki pemahaman sama dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Negara kita pun pernah digoncangkan oleh beredarnya sebuah video di media sosial, seorang warga Negara Indonesia (WNI) yang mengaku bernama Abu Muhammad al Indonesi mengajak penduduk Islam Indonesia untuk ikut memperjuangkan berdirinya negara Islam dengan bergabung di pergerakannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2015, sebanyak 56% kasus ISIS disebabkan oleh rendahnya wawasan kebangsaan generasi muda sebagai akibat dari minimnya keinginan remaja untuk menguak lebih dalam mengenai bangsa Indonesia. Selain itu, 44% lahirnya ISIS disebabkan juga oleh ketidakmampuan remaja dalam menyeimbangkan kecerdasan emosional sehingga bertindak egois dan sewenang-wenang.
Dinamika perkembangan generasi Sambalado yang berujung pada kasus terosisme ISIS memang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit warga Negara Indonesia yang kerap diberikan iming-iming menggiurkan, seperti memberi pekerjaan dengan gaji tinggi, menjanjikan jaminan kesehatan bagi anak-anak, mengirimkan dana ke Indonesia, penawaran budak seks bagi pejuang asing yang ingin bergabung, dan dilayani wanita cantik. Iming-iming tersebut hanyalah propaganda ISIS. Mengingat masyarakat Indonesia tengah krisis secara ekonomi sehingga menjadi celah bagi kelompok radikal ISIS untuk menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, khusunya merombak Pancasila. Lantas, bagaimana cara mengatasinya?
Rular (Rumah Belajar) for Pokemon sebagai Upaya Preventif Aksi Radikalisme ISIS di Indonesia
Masyarakat global saat ini secara serius dihadapkan pada pengaruh sistem nilai sekuler dan materialis. Semua lapisan masyarakat baik orangtua, pendidik, agamawan kini tengah menghadapi dilema besar dalam pendidikan, yaitu tentang bagaimana cara terbaik untuk mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global di masa mendatang (Zainuddin, 2008:1).
Optimalisasi Rular (Rumah Belajar) merupakan salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki moral generasi Sambalado, termasuk dalam mancegah aksi radikalisme ISIS. Seperti yang telah direalisasikan oleh guru-guru SMA Negeri 2 Amlapura dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang saling bersinergi untuk memanfaatkan Rular (Rumah Belajar) sebagai media pembelajaran yang unik dan menarik.
Rular (Rumah Belajar) merupakan platform pembelajaran berbasis jejaring sosial yang diperuntukan kepada siswa, dinaungi oleh guru, serta terhubung dengan orang tua siswa. Tahapannya, siswa harus membuat akun Rular (Rumah Belajar) terlebih dahulu, kemudian log in dengan menggunakan kode kelas yang telah ditentukan. Melalui Rular (Rumah Belajar), guru dapat memberikan bahan ajar mulai dari foto, video, film, rekaman suara, kuis, ulangan, dan catatan pelajaran tanpa harus bertatap muka secara langsung. Media ini mirip seperti kelas diskusi secara online yang dapat memudahkan komunikasi antara guru dan siswa, serta memudahkan orang tua dalam memantau aktivitas anaknya sehingga mereka tidak perlu khawatir jika anaknya tenggelam dalam lautan teknologi.
Gambar 1.1 Akun Rular (Rumah Belajar) sebagai Media Pembelajaran
Rular (Rumah Belajar) menggunakan desain yang mirip dengan facebook sehingga siswa menjadi lebih tertarik untuk ikut aktif berkecimpung di dalam kelas online. Dalam prosesnya, guru akan memberikan materi pendidikan kewarganegaraan dan wawasan kebangsaan. Di sela-sela diskusi, OSIS akan menayangkan cuplikan film yang terkait dengan bangsa Indonesia. Tayangan film itulah yang kemudian wajib dikomentari oleh siswa dan di-posting ke library Rular (Rumah Belajar).
Film dipilih oleh OSIS SMAN 2 Amlapura sebagai media pendidikan pada Rular (Rumah Belajar) didasarkan pada kehidupan sehari-hari remaja yang sudah tidak asing lagi dengan kehadiran film. Adanya kemajuan teknologi dan perkembangan sosial budaya di negara kita saat ini, menonton film merupakan aktivitas yang dapat dilakukan oleh seluruh kalangan. Film adalah sebuah gambaran, rekayasa yang dapat berupa cerita fiksi, biografi perjalanan seseorang, kisah nyata yang dibuat untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai hiburan, sebagai media promosi, bahkan juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran alternatif, khususnya bagi para siswa yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Dengan kata lain, film pada media Rular (Rumah Belajar) dapat dijadikan selingan pada saat pembelajaran konvensional, di mana siswa diharapkan mampu mengambil makna film yang relevan sesuai dengan tema pembelajaran sehingga dapat memacu siswa untuk meningkatkan intensitas belajar.
Istilah Rular for Pokemon merujuk pada korelasi antara film yang ditayangkan pada Rular (Rumah Belajar) dengan Potensi Kecerdasan Emosional (Pokemon). Betapa tidak, di usia remaja yang cenderung labil, lebih mudah untuk melakukan apa yang dilihat dan didengar di media audiovisual semacam film. Namun, mari kita tengok sejenak, akhir-akhir ini justru sering terdengar mengenai perilaku-perilaku remaja yang menyimpang karena melihat adegan-adegan di film yang sebenarnya kurang layak di usianya, seperti adegan kekerasan dan pornografi. Namun, bukan berarti film dengan aliran nasionalisme, religiusme, dan sarat akan moral telah hilang dari peredaran hanya karena kurang diminati penonton, khususnya remaja.
Gambar 1.2 Film-Film Sejarah yang Eksis di Kalangan Pelajar
Terdapat beberapa film perjuangan dengan latar belakang nasionalisme yang sangat eksis dan seringkali ditayangkan pada media Rular (Rumah Belajar). Mulai dari film Habibie & Ainun di mana dapat dilihat perjuangan Bapak Habibie yang sudah sukses di Negara Jerman tetapi tetap bertekad pulang dan memajukan bangsa Indonesia. Di samping itu, film Soekarno, Jenderal Sudirman ataupun Cokroaminoto yang menceritakan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia sampai meraih kemerdekaan, baik melalui persenjataan maupun pemikiran. Film seperti inilah yang harus lebih digencarkan untuk para remaja agar dapat menghargai perjuangan yang telah dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk keberhasilan generasi muda dalam mengharumkan nama bangsa, mengapa masih terdapat banyak kejadian kekerasan yang dilakukan generasi Sambalado seperti terorisme, khususnya yang sedang marak saat ini yaitu ISIS? Meskipun kecerdasan intelektual tinggi, tetapi tidak diimbangi oleh potensi kecerdasan emosional (Pokemon) dan spiritual, maka hal itu akan sia-sia. Albert Einstein dalam kutipannya mengatakan “ilmu tanpa agama adalah lumpuh dan agama tanpa ilmu buta.”
Melalui Rular (Rumah Belajar) yang menayangkan film dengan tema nasionalisme, jika disaksikan oleh remaja, alam bawah sadar remaja akan merekam bagaimana sulitnya berjuang hingga Indonesia merdeka, bahkan perlu waktu sampai 300 tahun. Saat alam bawah sadar bekerja, maka akan terjadi perubahan emosional dalam diri para remaja. Remaja akan menghargai perjuangan pahlawan dan tidak akan dengan mudah untuk merusak bangsa. Remaja akan berpikir berkali-kali untuk menghancurkan bangsa yang telah dibangun dengan susah payah dengan melakukan aksi teror dan tergabung di ISIS (Masykur, 2011 : 191). Dalam film-film nasionalisme yang disosialisasikan melalui Rular (Rumah Belajar) pun diselipkan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat menyadarkan remaja bahwa sangat keliru ketika menjadikan sebuah agama untuk melakukan kejahatan yang bahkan sampai membunuh ribuan umat manusia yang tidak bersalah hanya karena kepentingan pribadi dan golongan.
Potensi kecerdasan emosional (Pokemon) yang lahir dari film-film sejarah pada media Rular (Rumah Belajar) sangatlah potensial untuk dikembangkan. Terlebih lagi, kecerdasan emosional merupakan pondasi dari kecerdasan lainnya yang selalu membentengi jiwa generasi muda dan mengingatkan mereka mengenai dharma (kebaikan) dan adharma (keburukan). Terlebih lagi, pada media Rular (Rumah Belajar) siswa tidak hanya diajak untuk menyaksikan film, melainkan juga menelaah, mengomentari, dan mendiskusikan tayangan tersebut.
Sebagai media sosial yang berbasis pendidikan, Rular (Rumah Belajar) for Pokemon dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan dalam memerangi generasi Sambalado yang merupakan pelopor aksi radikalisme. Rular (Rumah Belajar) akan meningkatkan wawasan siswa terhadap sejarah bangsa dan perjuangan pahlawan melalui media audiovisual (film) yang ditayangkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rular (Rumah Belajar) dapat membinasakan moral generasi Sambalado dan sekaligus meningkatkan potensi kecerdasan emosional (Pokemon) di tengah maraknya geliat ISIS.
Mencermati begitu besarnya peran Rular (Rumah Belajar) for Pokemon, maka sudah seyogianya generasi muda termotivasi dan tergugah jiwanya untuk terus aktif dalam memanfaatkan teknologi informasi semacam Rular (Rumah Belajar). Bagi pihak sekolah diharapkan terus mengoptimalkan penggunaan film pada Rular (Rumah Belajar) guna meningkatkan daya tarik siswa dalam mengikuti pembelajaran konvensional. Untuk pemerintah seyogianya terus memfasilitasi pihak sekolah dalam melaksanakan pembelajaran unik seperti Rular (Rumah Belajar).