TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid19 yang melanda di berbagai kawasan membuat kita, berfikir dan merenung bahwa peradaban-peradaban gemilang yang dicipta manusia hanyalah setitik debu di antara hamparan kekuasaan Sang Pencipta. Krisis Covid19 mendorong manusia untuk bergerak lebih jauh, mencari-cari kekuatan sejati, dan sekaligus menemukan Tuhan dalam pencarian menuju hakikat diri.
Sebelum Covid19 menyebar, kehidupan kita seolah baik-baik saja. Rutinitas pekerjaan, tugas keseharian, relasi keluarga, dan sekaligus target-target personal manusia ditetapkan pada kadar kecepatan tinggi, yang menjadi tren dari peradaban modern. Manusia dituntut untuk bergerak serba cepat, tanpa ada jeda untuk menyelami diri sendiri, merenungi tujuan hidup sejati.
Namun, secara tiba-tiba Covid19 menghantam kehidupan kita. Hampir seluruh dunia merasakan dampaknya, baik di sisi kesehatan, perekonomian, politik maupun sosial budaya. Dunia pendidikan juga mau harus berubah, mengikuti ritme pergeseran peradaban baru. Yakni, peradaban yang mendorong orang-orang untuk bekerja secara efektif, dengan protokol kesehatan dan tata ekonomi yang baru.
Lalu, bagaimana perubahan-perubahan drastis itu membentuk dunia pendidikan kita? Di antara yang bisa dirasakan yakni pentingnya belajar secara efektif dan fokus pada tujuan. Sistem pendidikan berubah mengikuti pergeseran perilaku manusia, yang disebabkan pandemi Covid19. Pola pembelajaran mau tidak mau mengikuti kehendak hidup manusia, yang adaptif pada perubahan-perubahan fundamental dalam hidup kita.
Pendidikan kita bergeser secara drastis dengan menggunakan teknologi untuk proses pembelajaran. Pendidik, siswa dan orang tua peserta didik melakukan percepatan dalam pergeseran penggunaan platform teknologi, dari sebelumnya konvensional menuju pembelajaran virtual. Adopsi atas teknologi digital dengan sistem daring, mengalami lompatan drastis di masa pandemi Covid19.
Pola kerja manusia juga berubah drastis. Dari yang sebelumnya kerja di kantor dengan jam tertentu, sekarang dipaksa bekerja dari rumah dengan waktu fleksibel. Dari yang sebelumnya menikmati aturan dan perintah ketat, sekarang harus proaktif dan progresif untuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing, dengan target-target tertentu yang disepakati bersama. Perubahan drastis pola kerja ini, merata di semua negara dengan aturan main masing-masing sesuai dengan konteks yang ada.
Apa sebenarnya yang menjadi refleksi mendasar pola pembelajaran di tengah pandemi Covid19? Petuah Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) masih sangat relevan: “setiap orang adalah guru, setiap rumah merupakan sekolah”. Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh pergerakan dan pendidikan nasional. Namun, refleksinya atas filosofi pendidikan, menerabas batas-batas negara.
Sekarang ini, setiap orang di manapun ia berada, haruslah mencari cara agar ia bisa terus belajar. Akses terhadap pengetahuan terbuka lebar. Maka, visi, target dan tujuan hidup menjadi sangat penting, yang menuntun langkah-langkah setiap pribadi untuk terus bertumbuh. Setiap orang menjadikan dirinya sendiri sebagai guru atas hidupnya, sekaligus memetik hikmah dan teladan dari orang lain.
Di tengah pandemi, keluarga juga menjadi tumpuan penting. Setiap keluarga, dalam konsep Ki Hadjar Dewantara, merupakan sekolah. Sekarang ini, dengan kewajiban work from home dan learn from home, kita bisa merasakan betul bahwa keluarga memegang peran krusial untuk memastikan setiap orang bisa tumbuh dengan baik. Talenta, passion, dan sekaligus cita-cita disemai dengan baik melalui keluarga. Instrumen berupa lingkungan dan keluarga, merupakan tanah/ladang yang menjadikan cita-cita manusia bisa tumbuh subur atau tidak.
Dengan demikian, keluarga menjadi tumpuan untuk mendidik. Setiap orang tua mendapat penyadaran kembali betapa tanggung jawab mendidik anak itu tidak mudah, dan seharusnya tidak hanya dibebankan kepada guru semata. Orang tua haruslah mengajarkan keteladanan, welas asih (compassion), moralitas dan sekaligus cara berpikir yang jernih. Di tengah pandemi, orang tua disadarkan untuk merancang ulang tujuan hidup dan merombak target-target yang selama ini menjadi pegangan.
Pandemi Covid19 di tengah suasana Ramadhan juga mengajarkan banyak hal kepada kita, manusia yang dhaif ini. Bahwa, setiap manusia haruslah saling membantu, karena tidak ada yang bisa hidup sendiri. Kesendirian dan egoisme akan membunuh manusia pelan-pelan. Tidak ada yang bisa hidup dalam egoisme, karena pada praktiknya, setiap manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar.
Puasa juga mengajarkan kita untuk terus bersabar, menikmati proses, sekaligus menghargai setiap pencapain yang kita lakukan. Bersabar untuk menahan diri, merekan penderitaan dan kesulitan selama belajar, untuk menjadi energi kreatifitas kita. Bahwa, setiap karya haruslah dimulai dari proses kreatif dengan segala tantangan masing-masing. Bahwa, dalam pencapaian kesuksesan, ada proses berdarah-darah yang seringkali dilupakan.
Berpuasa di tengah pandemi Covid19, mengajarkan kita bahwa manusia butuh siklus yang teratur untuk memperbaiki hidupnya. Ada saatnya lapar, ada waktunya berbuka. Maka, ada proses berjuang bersungguh-sungguh belajar, lalu ada tahapan kita diperbolehkan menikmati pencapaian itu di gerbang kesuksesan. Ada waktunya kita memetik proses belajar, kesungguhan berjuang, serta perjalanan panjang dalam menempa hidup.
Di tengah pandemi Covid19, kita menemukan kreatifitas-kreatifitas baru yang sebelumnya belum muncul. Kreatifis di tengah jepitan krisis, membuat manusia melakukan lompatan untuk menyelesaikan problemnya. Di sisi lain, tumbuhnya solidaritas global (global solidarity) juga menjadi pelangi baru di tengah krisis. Kita menemukan orang-orang yang berjuang untuk kemanusiaan, rela bekerja keras agar pendidikan nasional tetap terselenggara, dan berita-berita baik yang menginspirasi.
Maka, benar bahwa Covid19 merupakan percabangan jalan bagi kita semua: ke mana arah yang kita tuju untuk kehidupan yang lebih baik? Pemikir Arundhaty Roy, mengungkapkan bahwa Covid19 merupakan portal. “It is a portal, a gateway between one world and the next,” tulis Arundhaty Roy, di Financial Times, April 2020. Pandemi ini merupakan jeda sementara yang menuntun kita merefleksikan masa depan.
Ya, kita dituntut untuk menyegarkan kembali tujuan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan kita. Bukankah pandemi Covid19 mengajarkan bahwa tujuan kemanusiaan kita itu saling belajar, saling membantu? Jika benar demikian, puasa kita di tengah pandemi merupakan Ramadhan pencerahan. Bahwa, Idul Fitri dan perayaan Lebaran ini, merupakan tahapan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Manusia yang saling belajar untuk berbagi kebaikan. (*)
*) Penulis Adalah M. Hasan Chabibie, praktisi pendidikan, bergiat di Pusdatin Kemendikbud.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id