Literasi Digital Sebagai Tulang Punggung Pendidikan

0
14460

Bagaimana memahami perilaku dan suara-suara netizen di dunia digital? Ruang komunikasi di media sosial yang terbuka lebar, dengan beragam pola dan isu, membutuhkan kejernihan berpikir untuk memahaminya. Kedalaman analisa dan kejernihan pikiran, memungkinkan untuk mengeksplorasi sisi-sisi lain dari perkembangan media sosial.

Percepatan teknologi digital dalam platform media sosial, menumbuhkan laju interaksi antar manusia. Koneksi internet yang semakin bagus dengan infrastruktur teknologi, mempermudah interaksi personal. Ruang komunikasi menjadi terbuka, yang hanya ada selaput tipis antara ruang privat dan ruang publik. Interaksi masif di media sosial, menjadikan warga di ranah digital dapat mengembangkan gagasan dan ide-ide kreatifnya.

Namun, ada sebuah jebakan berupa lubang hitam di balik terbukanya ruang komunikasi media sosial. Interaksi masif di media sosial, ternyata belum dibarengi analisa dan kecermatan dalam memilah informasi. Di media sosial, informasi palsu dan konten-konten hoax menyesatkan serta memakan banyak korban. Tidak semua netizen mampu menganalisa konten-konten yang bertebaran, apakah hoax atau konten inspiratif.

Dalam konteks gagasan, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memiliki pondasi literasi yang kokoh. Laporan riset Program for International Student Assesment (PISA) mengungkap, betapa tradisi literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 ada di rangking 64 dari 65 negara yang diteliti. Sementara, indeks membaca dari siswa di berbagai negara yang diteliti, posisi Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara.

Literasi digital bermakna kemampuan berhubungan dengan informasi hipertekstual, dalam artian membaca non-sekuensial berbasis sistem komputer atau platform digital (Davis & Shaw, 2011). Dengan demikian, kemampuan analisa menjadi sesuatu yang penting. Dalam ungkapan Gilster (2007), literasi digital dimaknai sebagai kemampuan membaca, memahami dan analisa berbagai sumber digital.

Di tengah sebaran informasi di media digital, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘tsunami informasi’, maka kemampuan literasi digital menjadi kemampuan strategis. Informasi hoax yang bertebaran, perlu diantisipasi dengan kemampuan memilah dan membaca secara analitik, agar mendapatakan informasi yang valid. Kemampuan mencari sumber informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, menjadi sangat penting di tengah percepatan teknologi digital saat ini.

Dengan demikian, kemampuan membaca masyarakat Indonesia, terutama generasi muda perlu diarahkan dengan kecerdasan memahami arus informasi digital dan keadaban bermedia sosial. Kecerdasan menggunakan platform media digital, ketepatan menyebarkan gagasan, sekaligus kejelian mengakses informasi merupakan kecakapan penting pada lini transformasi media sosial kini.

Untuk itu, literasi digital perlu didorong sebagai mekanisme pembelajaran, yang terstruktur dalam kurikulum, atau setidaknya terkoneksi dengan sistem belajar-mengajar. Selain melalui institusi pembelajaran, kampanye literasi digital juga perlu menggandeng komunitas-komunitas kreatif dan organisasi masyarakat berbasis pendidikan yang dapat menyebarkan gagasan, meningkatkan kemampuan dan mengeksekusi gerakan masif untuk cerdas bermedia sosial.

Literasi digital juga menjadi bagian dari rencana jangka panjang UNESCO. Dalam roadmap UNESCO (2015-2020), literasi digital menjadi pilar penting untuk masa depan pendidikan. Literasi digital menjadi basis pengetahuan, yang didukung oleh teknologi informasi yang terintegrasi. Selanjutnya, kreativitas pengajar sangat strategis untuk pengembangan pendidikan di era cyber.

Kampanye literasi digital secara masif, dengan meningkatkan kemampuan analitik di tengah progresifnya teknologi digital dan menumbuhkan kecerdasan bermedia sosial, akan mengarahkan lintas generasi bangsa ini pada kemanfaatan teknologi, bukan sampah media sosial beserta energi kebencian yang menyertainya. Bagaimana memulainya? Kita semua harus berkontribusi untuk menjawabnya.

Penulis: Hasan Chabibie (praktisi di bidang TIK untuk pendidikan).