Belajar “Rumah Belajar”: Refleksi 10 Tahun Pembelajaran Daring

0
7832

Pusdatin Kemendikbudristek (4/8) –  Di masa pandemi Covid-19 yang tidak pernah jelas kapan akan berakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) menerapkan kebijakan pendidikan yang mengutamakan kesehatan maupun keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat secara umum. Karena bagaimanapun, kebijakan pendidikan harus selalu mempertimbangkan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi phsyco-sosial dalam memenuhi layanan pendidikan selama masa pandemi. Tak ayal, Rumah Belajar menjadi pilihan tepat untuk menjaga keberlangsungan pembelajaran tersebut. Dengan Rumah Belajar, belajar bisa dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.

 

Dengan nawaitu sebagai Learning Management System (LMS), Rumah Belajar di-ikhtiarkan sebagai platform inovasi pembelajaran yang menyediakan beragam bahan belajar serta fasilitas komunikasi antar pengguna. Platform ini dapat diakses pendidik dan peserta didik, mulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK Sederajat. Pada konteks ini, sesungguhnya Rumah Belajar berperan sebagai enabler atau perangkat yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Peran pendidik dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan TIK dapat dimaksimalkan sebagai fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar serta dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik dalam pembelajaran. Dalam perspektif peserta didik, memungkinkannya menjadi partisipan aktif, menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi semaksimal mungkin sebagaimana layaknya seorang profesional, belajar secara individu dan berkolaboratif dengan peserta didik lain.

 

Rumah Belajar yang di-inisiasi pada tanggal 15 Juli 2011 (tepat 10 tahun yang lalu) merupakan aplikasi pembelajaran berbasis daring yang dikembangkan secara khusus untuk memudahkan para pendidik dan peserta didik berinteraksi dalam proses pembelajaran. Rumah Belajar yang dapat diakses melalui: http://belajar.kemdikbud.go.id, juga dapat diunduh melalui perangkat berbasis IOS maupun Android, menekankan sisi interaktivitas antara pengguna, khususnya pendidik dan peserta didik, sehingga dapat mendukung proses mengajar yang lebih interaktif di kelas, dan dimanfaatkan oleh peserta didik sebagai bahan belajar alternatif baik di dalam maupun luar jam belajar sekolah.

Sejarah rumah belajar

Sebagaimana lazimnya platform LMS, Rumah Belajar memiliki beberapa fitur menarik, diantaranya Laboratorium Maya. Fitur ini merupakan tiruan laboratorium secara virtual, dimana pendidik dan peserta didik dapat mensimulasikan percobaan-percobaan IPA, seperti Biologi, Kimia, dan Fisika. Fitur menarik lainnya Sumber Belajar, Kelas Maya dan Bank Soal. Sumber Belajar merupakan fitur yang menjelaskan materi pelajaran secara komprehensif dan interaktif. Setiap materi dikupas mulai dari kompetensi, materi, simulasi, latihan, dan tes. Setiap materi disajikan dengan menggunakan audio video dan animasi, sehingga memudahkan peserta didik memahami materi terkait. Tidak kalah menarik, Kelas Maya merupakan kelas virtual sehingga pendidik/fasilitator dapat mengajar peserta didiknya dari jarak jauh. Hingga saat ini, Rumah Belajar memiliki 1.705 bahan belajar interaktif, 25.594 bahan belajar kelas maya, dan 30.469 soal (sumber: Pusdatin, 2021).

 

Sejak diluncurkan di tahun 2011 tersebut, Rumah Belajar mampu menjadi magnet baru model pembelajaran daring berbasis TIK yang mengundang banyak insan pendidikan untuk mengunjungi dan memanfaatkannya. Setiap tahunnya terjadi kecenderungan peningkatan pengunjung yang cukup signifikan. Menurut data di Pusdatin, Kemendikbudristek, pada tahun 2018, sekolah yang terdaftar di platform Rumah Belajar secara kumulatif adalah sebanyak 52.176 sekolah, pendidik yang mendaftar dan mengunduh bahan belajar sejumlah 129.597 orang, serta peserta didik yang mendaftar dan mengunduh bahan belajar sejumlah 343.999 anak. Secara parsial terdapat penambahan sebesar 8.055 sekolah yang memanfaatkan Rumah Belajar pada tahun 2018 tersebut.

 

Kondisi peningkatan yang menggembirakan secara kuantitas tersebut sudah seharusnya dan sepatutnya dibarengi dengan peningkatan dan perbaikan secara kualita. Jika abai terhadap hal ini, maka bukan tidak mungkin Rumah Belajar akan mulai redup dan ditinggalkan penggunanya, yang mulai beralih ke aplikasi pembelajaran lainnya yang lebih menarik, meskipun harus mengeluarkan rupiah yang tidak sedikit. Fenomena ini patut diantisipasi dan diwaspadai karena indikasi kesana sudah samar-samar mulai terlihat. Ke-engganan atau bahkan kegagalan mengantisipasinya dipastikan akan semakin menggelembungkan fenomena ketertinggalan tersebut. Beberapa indikator mengkonfirmasi kekhawatiran tersebut, diantaranya: Satu, hasil Survey Belajar dari Rumah yang dilaksanakan Pusat Penelitian Kebijakan (2020) menunjukkan sejumlah 13,8% peserta didik yang disurvey memilih Rumah Belajar sebagai aplikasi sumber belajar daring. Bandingkan dengan Ruangguru yang 19,6%. Pun untuk aplikasi pengelolaan pembelajaran daring, Kelas Digital Rumah Belajar dipilih 9,7% peserta didik yang disurvey, sedikit lebih baik dibanding Quipper School 6,0%. Sedangkan Google for Education 33,2% dan aplikasi mandiri sekolah 14,7%.

 

Dua, jika dihadapkan secara head to head antara Rumah Belajar dan Ruangguru sebagai aplikasi sumber belajar daring pada Survey Belajar dari Rumah tersebut, siswa SD lebih banyak memanfaatkan Rumah Belajar (19,8%) dibanding Ruangguru (16,7%). Pada jenjang yang lain, Ruangguru lebih banyak dimanfaatkan peserta didik dibanding Rumah Belajar. Jenjang SMP, Ruangguru (19,7%), Rumah Belajar (15,5%). Jenjang SMA, Ruangguru (24,4%), Rumah Belajar (6,9%). Jenjang SMK, Ruangguru (11,1%), Rumah Belajar (11,5%). Di daerah 3T, Ruangguru (12,4%), Rumah Belajar (11,3%). Di daerah Non 3T, Ruangguru (19,8%), Rumah Belajar (13,8%). Ketiga, hasil Google Analytics per 1 Januari – 30 Juli 2021. Traffic Rumah Belajar sebanyak 27.363.747 pageviews, turun 65,8% dibanding rentang waktu yang sama tahun sebelumnya. Jumlah pengunjung 2.906.817 orang, turun 44,0% dibanding tahun sebelumnya. Pengguna baru 2.728.112 orang, turun 45,1% dibanding tahun sebelumnya. Rata-rata durasi kunjungan 4 menit 10 detik, turun 40.9% dibanding waktu yang sama tahun sebelumnya.

Grafik perbandingan Rumah Belajar dengan platform pembelajaran daring lain yang digunakan peserta didik

Masihkah kita berpangku tangan? Masihkah kita merasa nyaman berperan sebagai safety player? Jawabannya pasti tidak. Rumah Belajar harus berbenah. Saatnya untuk berbenah. Tidak ada kata terlambat untuk berbenah. Sebagai ikhtiar refleksi, usia 10 tahun tergolong sangat relatif. Umur 10 tahun bukanlah usia muda, pun tidak bisa ditahbiskan sebagai usia tua. Belajar dari “Rumah Belajar” sebagai platform pembelajaran berbasis TIK, banyak hal bisa dilakukan sebagai upaya perbaikan dan pembenahan, diantaranya:

Satu, pengembangan platform Rumah Belajar harus berorientasi pada market need atau kebutuhan pasar-nya insan pendidikan. Ini bisa beragam bentuk, misalnya derajat kemudahan, kecepatan, kelengkapan, kesederhanaan dll. Meski Pengembang Teknologi Pembelajaran (PTP) banyak melakukan analisis kebutuhan dan studi kelayakan. Tapi haqqul yakin, yang dilakukan mereka lebih terbatas pada koridor analisis kebutuhan dan studi kelayakan media pembelajaran dan/atau model pembelajaran saja.

Yang selama ini sudah dilakukan lebih bersifat supply player based, bukan demand user based. Itupun dilakukan lebih berorientasi pada perolehan Angka Kredit. Belum ada yang berhasrat melakukan analisis kebutuhan “Revitalisasi Rumah Belajar” misalnya, bahkan menyenggolnya sajapun tidak. Jika ingin sedikit ilmiah, bisa melakukan kajian/penulisan artikel ilmiah “Rumah Belajar: Menjawab Tantangan Kebutuhan Jaman” atau tema lain yang bernuansa perbaikan dan penyempurnaan. Toh, Pusdatin punya Jurnal Teknodik yang sudah barang tentu penjaga gawangnya dengan senang hati akan memuat artikel ilmiah menarik tersebut. Bila dipandang perlu, bisa dilakukan dengan model penugasan dari pimpinan.

 

Dua, pengembangan platform Rumah Belajar harus berorientasi pada aspek kekinian, kebaruan atau novelty (pinjam diksinya para peneliti). Meski hanya berprasangka, bukan tidak mungkin, menurunnya pageviews dan user pada rentang waktu yang sama tahun sebelumnya dipengaruhi oleh miskin-nya kekinian dan kebaruan dalam Rumah Belajar. Barangkali benar bahwa kekinian dan kebaruan yang sudah dilakukan baru sebatas wacana tampilan dan layouting semata, belum banyak merambah tataran konten, substansi dan logika kebutuhan.

Tiga, memaksimalkan peran Duta Rumah Belajar (DRB) dalam pengembangan platform Rumah Belajar. Keberadaan DRB sudah dimulai sejak tahun 2017 dan proses seleksinya dilakukan setiap tahun, artinya sampai tahun 2020 jumlah DRB yang mewakilinya propinsinya masing-masing sudah terhitung banyak. Meski mereka dilabeli dan menyandang status “etalase Pusdatin di daerah”, faktanya intensitas dan frekwensi interaksi antara Pusdatin dengan DRB relatif rendah, bisa dihitung dengan jari tangan. Kondisi demikian membuat Pusdatin mirip seperti seorang petinju bertaktik hit and run, langsung berlari setelah memukul. Terlupa untuk senantiasa merawat dan menjaga mereka ketika prosesi menyeleksi dan memilih mereka sudah usai. Seharusnya saat ini adalah harvest season, saatnya musim panen. Memanen hasil dan produk pembelajaran TIK mereka, sebagaimana akad yang terjadi saat wisuda mereka sebagai DRB.

 

Empat, pengembangan platform Rumah Belajar harus menjamin bahan belajar yang tersedia merupakan bahan belajar yang berprinsip share and use (bagi dan gunakan). Terbuka kesempatan yang luas untuk di-share dan reuse oleh pengguna (pendidik, peserta didik dan masyarakat) untuk dikembangkan lebih baik dan atraktif. Sudah seharusnya Rumah Belajar menjadi platform pembelajaran daring yang interoperable, aplikasi yang dapat berinteraksi dengan aplikasi lainnya melalui suatu protokol yang disetujui bersama lewat bermacam-macam jalur komunikasi, biasanya lewat network TCP/IP dan protokol HTTP dengan memanfaatkan file XML. Sementara bahan pembelajaran di dalamnya menyediakan objek yang sharable dan reusable.

Untuk merawat dan menjaga marwah Rumah Belajar di usia 10 tahun ini, ada baiknya menengok kembali asbabun nuzul berikut tujuan pengembangannya. Pengembangan platform ini bertujuan untuk:

Kesatu, memfasilitasi dan menyediakan sebuah portal layanan e-pembelajaran yang terintegrasi dengan pengembangan inovasi pembelajaran dan pembinaan profesionalitas pendidik.

Kedua, menyediakan berbagai pilihan sumber belajar baik bagi peserta didik, pendidik, maupun masyarakat umum.

Ketiga, menyediakan wahana pengembangan kreativitas dan saling berbagi secara kolaboratif di antara para peserta didik, pendidik, maupun masyarakat umum.

Ke-empat, mengintegrasikan layanan e-pembelajaran dan e-administrasi dalam rangka mendorong pengembangan profesionalisme para pendidik.

Kelima menyediakan sarana layanan pelatihan dan pengembangan profesi berkelanjutan bagi pendidik dan tenaga kependidikan.

 

Kini, di saat berusia 10 tahun, waktu yang baik dan tepat untuk merefleksi diri. Sudahkah kita belajar “Rumah Belajar”? Sudah tercapaikah tujuan pengembangannya dan seberapa tercapainya? Bagaimana positioning Rumah Belajar disandingkan dengan aplikasi pembelajaran daring yang lain sebagai kompetitor? Hanya kita yang bisa menjawabnya dengan jujur dan pasti, bukan pihak lain, bahkan bukan pengembang aplikasi pembelajaran daring yang lain.

 

Analogi yang agak mirip dengan kondisi ini adalah pengembangan Rumah Belajar sebagai deret hitung, bergerak dari 1, 2, 3, 4, 5 dst. Sedangkan pengembang aplikasi pembelajaran daring yang lain selayaknya deret ukur, bergerak dari 1, 2, 4, 8, 16 dst. Jangan kita biarkan Rumah Belajar tertinggal dan akan semakin tertinggal. Sayup-sayup terdengar salah satu diantaranya malah sudah menyiapkan dan mengembangkan personal learning based, pembelajaran berbasis kebutuhan individual peserta didik. Ada iming-iming bisa dilakukan secara customize.

 

Akhirnya, tentu saja tulisan ini bukan panacea, obat mujarab yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Tulisan ini sekedar ikhtiar gagasan yang menggelegak dan berkecamuk di hati, memenuhi tanggung jawab personal sebagai individu yang melekat di dalamnya. (ma).

Penulis : Moch. Abduh, Ph.D. – Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Utama Pusdatin, Dosen FT Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Dosen FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Editor/Desain : Fikri/Renny