Pendidikan untuk Solidaritas Global Pasca Pandemi Covid-19

0
9620

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid-19 memaksa kita semua untuk merenungi hakikat kehidupan, tujuan-tujuan kita, serta kebermaknaan yang hakiki. Memang Covid-19 menjadi musibah bagi milyaran manusia lintas negara. Bahkan, negara-negara modern dengan sistem ekonomi mapan dan teknologi maju, terasa terseok-seok menghadapi pandemi.

Begitu pula di Indonesia, negeri yang kita cintai ini. Pemerintah Indonesia telah bekerja sangat keras untuk menangani Covid-19, dengan segala keterbatasan dan tantangan. Tim medis kita juga berjuang tanpa batas, bahkan di antara mereka meninggal di tengah tugas perawatan pasien. Warga Indonesia juga saling bekerjasama dengan saling bantu, kisah-kisah itu dengan mudah kita dapatkan dari berbagai sumber media, dari keseharian kita.

Pandemi Covid-19 membuat negara-negara besar terhuyung-huyung, semua merasakan krisis dengan skala yang berbeda. Akan tetapi, ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari pandemi Covid-19, asalkan kita mengubah cara berpikir dari pesimis menjadi optimis. Kita perlu menggeser tantangan-tantangan menjadi peluang bagi semua orang. Bukankah, di setiap musibah selalu ada hikmah? Di balik tirai tragedi selalu ada kesempatan bangkit?

Di bidang pendidikan yang saya geluti selama ini, pandemi Covid-19 membawa dampak besar bagi semua elemen: pendidik, orang tua murid, anak didik hingga pemangku kebijakan. Situasi krisis akibat virus yang begitu cepat mengubah tataan manusia, menyadarkan kita betapa penting merombak beberapa hal mendasar dalam sistem pembelajaran di negeri ini.

Untuk bangkit dari krisis Covid-19, semua pihak harus bangkit dengan caranya masing-masing. Pemerintah dengan segala upayanya, mendukung perbaikan sistem kesehatan dan ketahanan pangan. Juga, stimulus dan kebijakan ekonomi yang mendukung pengusaha serta sektor UMKM agar bisa bangkit kembali.

Tentu saja, sektor pendidikan juga harus mengalami revolusi. Saya sepakat dengan gagasan Prof Iwan Pranoto (Guru Besar Matematika ITB) tentang ‘revolusi pendidikan’. Beberapa waktu yang lalu, saya berdiskusi intensif dengan beliau. Di antara point gagasan yang menjadi kegelisahan saya yakni perlunya merombak sistem penilaian siswa, teknologi dan sistem pendidikan serta standar evaluasi. Harus ada cara-cara baru agar pendidikan kita tetap relevan, khususnya di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 memang membuka gerbang tata dunia baru, yang mesti kita masuki bersama. Suka atau tidak suka, inilah realitas tata dunia baru yang menjadi wajah peradaban masa kini dan mendatang. Pemerintahan dengan pola baru, bisnis dengan pendekatan baru, serta hubungan antar manusia dengan tata cara yang baru.

Interaksi antar negara juga diharapkan lebih terbuka, dengan membangun rasa saling percaya. Masyarakat dunia berharap tatanan kehidupan baru itulah yang dapat menyelamatkan manusia, khususnya ketika menghadapi pandemi pada masa-masa mendatang.

Perlu ada rasa solidaritas antar bangsa, yang membuat kita saling membantu sesama manusia. Mengenai situasi ini, sejarawan asal Israel Yuval Noah Harari (2020) menyebut pentingnya ‘global solidarity’. Jika kita memilih solidaritas global, kita akan menang tidak hanya melawan virus, tapi juga menghadapi pandemi dan pelbagai krisis di masa mendatang.

Merdeka Belajar

Kita akan memasuki tatanan dunia baru pasca pandemi Covid-19. Pola kehidupan baru yang merombak lapisan dan tonggak kehidupan lama ini, perlu dipersiapkan dengan baik, setidaknya direncanakan dengan detail.

Memang belum kepastian kapan pandemi Covid-19 berakhir. Meski, kurva kasus pasien yang terinfeksi virus menurun secara global, tapi pemerintah berbagai negara masih was-was dengan ancaman gelombang baru virus yang lebih mematikan. Ada beberapa prediksi tentang berakhirnya pandemi, semisal pada akhir Juni, September atau bahkan pada akhir Desember 2020. Di tengah pelbagai prediksi ini, tugas kita adalah mempersiapkan langkah terbaik untuk memasuki tatanan dunia baru.

Ada tiga hal mendasar, dalam pola baru dunia pendidikan kita. Pertama, merdeka belajar. Gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim selayaknya diterjemahkan secara mendetail dengan instrumen-instrumen yang tepat sasaran.

Mas Menteri Nadiem Makarim menyampaikan dalam beberapa forum, bahwa saat inilah yang paling memulai proses merdeka belajar. Dalam artian, pola interaksi dalam pembelajaran kita harus memicu potensi kreatifitas siswa seraya membebaskan mereka untuk mengeksplorasi bakat-bakat alaminya. Dengan pola ini, kita akan menemukan karya-karya dan gagasan-gagasan segar dari anak didik kita.

Selaras dengan gagasan Mas Menteri, tim Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemdikbud terus berinovasi menghadirkan sistem pembelajaran virtual yang mudah diakses. Melalui platform Rumah Belajar, lebih dari 14 juta anggota pengakses yang telah memanfaatkan konten-konten melalui ratusan juta kunjungan. Pusdatin Kemdikbud juga bekerja sama dengan TVRI berbagai lembaga lain untuk kolaborasi dan memaksimalkan proses serta kualitas pembelajaran.

Kedua, pembelajaran global. Pandemi Covid-19 memaksa kita merombak cara belajar, dengan memaksimalkan teknologi digital. Akses informasi yang tanpa batas, menjadikan anak didik mengalami keberlimpahan data. Orang tua dan pendidik mempunyai kewajiban untuk mendampingi anak didik menyaring informasi agar menjadi pengetahuan. Kita membutuhkan pendidikan yang mendukung terbentuknya solidaritas global.

Ketiga, pemerataan akses dan infrastruktur digital. Tantangan besar pemerintah Indonesia yakni dalam pemerataan akses informasi dan infrastruktur digital. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah bekerja keras dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan digital, terutama Palapa Ring yang membentang dari ujung Aceh hingga Papua. Namun demikian, masih banyak tugas-tugas penting untuk meratakan infrastruktur digital bagi semua siswa, khususnya yang berada di kawasan pedalaman, perbatasan dan wilayah terluar.

Keempat, pembelajaran yang terkoneksi dengan alam untuk ketahanan pangan. Pandemi Covid-19 memaksa kita semua berpikir tentang ketahanan pangan. Betapa rentan sebuah negara, jika pemerintahnya mengandalkan import bahan pangan. Pendidikan harus merespons hal ini, dengan mengkonsep ulang pembelajaran yang terkoneksi dengan alam.

Sistem pembelajaran harus mendorong kesadaran siswa untuk mencintai alam, dengan menanam dan sadar tanaman pangan. Dengan demikian, pendidik dan orang tua siswa juga harus punya kesadaran sama, betapa penting mengefektifkan lahan untuk menghasilkan bahan pangan, sayuran segar, buah-buahan dan ikan dari kolam-kolam.

Ke depan, pendidikan harus seirama dengan tata dunia baru. Pendidik, orang tua, anak didik, dan komunitas pendidikan haruslah merespon secara tepat tatanan baru kehidupan kita. Pendidikan kita harus memerdekakan manusia untuk belajar menyerap ilmu dari siapapun dan kapanpun. Karena sejatinya, sebagaimana petuah Ki Hadjar Dewantara, setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah  (*)

***

Penulis : M Hasan Chabibie (Praktisi Pendidikan, Plt. Kepala Pusdatin Kemdikbud RI)
Sumber : https://www.timesindonesia.co.id/read/news/269499/pendidikan-untuk-solidaritas-global-pasca-pandemi-covid19